Senin, 14 November 2011

Kajian Ekonomi Sumber Daya Abalon (Haliotis asinina) dalam Rangka Pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan Di Menui Kepulauan Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah

PENDAHULUAN
Kelompok biota moluska merupakan salah satu potensi sumber daya perikanan yang apabila dimanfaatkan secara rasional dapat memberikan kontribusi yang besar bagi pendapatan masyarakat dan mendorong peningkatan pendapatan daerah.  Adapun keunggulan komparatif yang dimiliki oleh biota tersebut, di antaranya yaitu merupakan komoditi ekspor yang bernilai ekonomi tinggi yang bersumber dari olahan daging dengan nilai gizi yang tinggi dan kulit cangkangnya sebagai bahan perhiasan dan dekorasi (Pillay 1993).  Kenyataan tersebut mendorong untuk dilakukannya pemanfaatan yang terkendali dengan tetap mempertahankan kelangsungan sumber daya tersebut dalam jangka panjang melalui suatu tindakan antisipasi tekanan penangkapan.  
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan skala kecil yakni dengan peningkatan produksi, baik dari segi volume maupun nilai melalui penggunaan unit penangkapan yang produktif, ekonomis dan efisien dengan menerapkan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan dan sesuai dengan kondisi setempat. Upaya peningkatan usaha perikanan tersebut sangat memerlukan kajian yang komprehensif karena tidak hanya melibatkan kegiatan penangkapan, tetapi juga melibatkan ketersediaan stok sumber daya, distribusi pemasaran dan penerimaan dari produksi yang dihasilkan.  Adapun kelemahan manajemen pengelolaan abalon saat ini yakni 1) bagaimana merubah usaha penangkapan abalon menjadi usaha budidaya, dan 2) peningkatan hasil olahan abalon yang lebih berkualitas. 
Menui Kepulauan merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah yang beribukota di Ulunambo, dengan luas wilayah 223,63 km2 dan merupakan daerah pesisir dan pulau-pulau kecil.  Sektor perikanan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian masyarakat setempat yang pada umumnya bermatapencaharian sebagai nelayan (BAPPEDA 2004).  Salah satu potensi sumber daya perikanan laut yang bernilai ekonomis yang terdapat di Menui Kepulauan adalah abalon (Haliotis asinina).  Abalon atau yang lebih dikenal dengan sebutan “mata tujuh” termasuk dalam salah satu filum moluska.  Abalon merupakan jenis keong laut bersifat herbivora dengan banyak spesies dalam satu genus yaitu Haliotis.  Biota laut tersebut telah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sejak tahun 1975 dengan total produksi sejumlah ± 10 ton/tahun. Komoditas tersebut telah dipasarkan ke luar daerah Menui Kepulauan dalam bentuk kering, diantara tujuan pemasarannya yakni di Kota Kendari dan Makassar.
Sebagai komoditas eksport, abalon memiliki harga konsumsi yang tinggi yakni berkisar antara Rp. 250.000.00 hingga Rp. 350.000.00 per kg (www.jatim.go.id), selain itu abalon juga dapat dijadikan sebagai makanan sari laut dan dipasarkan dalam bentuk kemasan kaleng dan dapat dikonsumsi baik mentah atau direbus serta cangkang abalon dapat dimanfaatkan sebagai bahan perhiasan dan dekorasi  (Pillay 1993).  Adanya nilai ekonomis abalon tersebut dan tuntutan kebutuhan bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan berdampak pada terjadinya eksploitasi abalon yang berlebihan dan cenderung tidak berkelanjutan.  Sehubungan dengan hal itu maka diperlukan alternatif untuk mengatasi tekanan terhadap sumber daya tersebut dan menjaga agar kebutuhan masyarakat sebagai sumber matapencaharian tetap dapat terpenuhi.  Upaya yang dilakukan untuk mengatasi sebelum terjadi degradasi adalah perlunya pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan agar keberadaan abalon di masa mendatang tetap dapat dipertahankan.
Upaya pengembangan secara berkelanjutan memerlukan pengetahuan tidak saja pada pengetahuan tentang ekologi tapi juga diperlukan informasi mengenai aspek ekonomi yang secara finansial mendukung usaha pengembangan sumber daya abalon yang dapat memberikan kontribusi terhadap perubahan pendapatan nelayan abalon yang lebih baik serta jaminan pengembangan usaha budi daya. 
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-April 2006, di Menui Kepulauan Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah.  Adapun cakupan Desa-desa di Menui Kepulauan yang menjadi objek penelitian meliputi Desa Manahabungi (Pulau Lunas Balu), Desa Ulunambo, Desa Ulunipa, dan Desa Padei Darat.  Pemilihan lokasi penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui potensi dan pengembangan abalon di Menui Kepulauan. Pulau Lunas Balu merupakan daerah penangkapan abalon yang umum dan terbanyak dikunjungi oleh nelayan setempat.  Pengambilan data responden dilakukan di Desa Ulunambo, Desa Ulunipa, dan Desa Padei Darat, dengan alasan bahwa berdasarkan survei awal, ketiga desa tersebut merupakan daerah yang memiliki jumlah nelayan terbanyak yang memanfaatkan sumber daya abalon.
Jenis dan Sumber Data
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan dengan mempertimbangkan kondisi wilayah penelitian, maka penelitian yang dilakukan menggunakan metode survei.  Penentuan lokasi dan responden nelayan abalon dilakukan secara purposive sampling.  Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua data, yaitu data primer dan data sekunder.  Data primer diperoleh dari pengukuran dan pengamatan langsung di lokasi penelitian, meliputi data aspek ekonomi secara finansial berupa kelayakan usaha penangkapan meliputi produktivitas, struktur biaya, dan musim penangkapan.  Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, hasil penelitian terdahulu, dan data dari instansi yang terkait, seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali dan Kantor Kecamatan Menui Kepulauan.    
Metode Pengumpulan Data
Pulau Lunas Balu secara purposive sampling yaitu merupakan daerah penangkapan abalon terbanyak di Menui Kepulauan dan dijadikan sebagai lokasi pengambilan sampel abalon dewasa karena pengamatan yang dibutuhkan mengarah pada data time series hasil tangkapan nelayan.  Desa-desa pesisir seperti Desa Ulunambo, Desa Ulunipa, dan Desa Padei Laut merupakan desa yang memiliki jumlah nelayan penangkapan abalon terbanyak di Menui Kepulauan.  Metode penentuan responden juga dilakukan secara purposive sampling didasarkan pada tujuan sampling yakni nelayan abalon.
Analisa Data
Tingkat Kelayakan Usaha Penangkapan Abalon

            Jenis dan satuan data yang dikumpulkan sebagai berikut :

A.  Data Primer
1.    Komponen-komponen biaya tetap (fixed cost)
2.    Komponen-komponen biaya operasional (variabel cost)
3.    Komponen-komponen biaya pemeliharaan (maintenance cost)

B.     Data Sekunder
1.      Jumlah produksi abalon dengan satuan kg kering
2.      Harga produksi abalon dengan satuan Rp/kg
3.      Jumlah alat tangkap atau jumlah nelayan
Undiscounted Criterion

Kelayakan finansial dapat digambarkan dengan menghitung biaya dan keuntungan dalam usaha penangkapan abalon.  Kajian ini menggunakan kriteria undiscounted criterion, yaitu sebagai berikut :
Keuntungan dan Kelayakan Usaha p  =  TR  - TC
                                             ..............................................................          (10)



Keterangan :

p        =  Total profit (keuntungan total)
TR     =  Total revenue (penerimaan total)
TC     =  Total cost (biaya total)

Dengan kriteria :
              R/C Ratio < 1    :     usaha tidak layak
              R/C Ratio = 1    :     Usaha impas
              R/C Ratio > 1    :     Usaha layak

Discounted Criterion

Analisis ini dilakukan dengan menggunakan metode kriteria investasi yang disesuaikan dengan prosedur kelayakan proyek yaitu :
·         Net Present Value (NPV)

Net present value adalah nilai saat ini dari keuntungan bersih yang akan diperoleh pada masa yang akan datang, dengan menghitung selisih antara manfaat dan biaya kini.  Secara sistematis dapat dituliskan :
                                          
                                           ......................................................           (11)

Dimana :
            Bt                        =  benefit kotor pada tahun t
            Ct                        =  biaya kotor pada tahun t
            (1 + i)t                  =  discount factor (DF)
            i                           =  tingkat suku bunga bank
            n                          =  umur ekonomi usaha
Kriteria pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :
            NPV > 0              :   usaha layak dilaksanakan
            NPV = 0              :   usaha kembali modal
            NPV < 0              :   usaha tidak layak dilaksanakan

·         Net benefit-Cost ratio (Net B/C)
Merupakan perbandingan antara jumlah total nilai kini (present value) dari keuntungan bersih pada tahun-tahun dimana keuntungan bersih bernilai positif dengan keuntungan bersifat negatif.  Secara sistematis net B/C dirumuskan sebagai berikut :
           
                                                                                       ..............................      (12)
  

Dimana :
            Bt          =  benefit kotor sehubungan dengan adanya investasi pada tahun t
            Ct          =  biaya kotor sehubungan dengan adanya investasi pada tahun t
            n            =  umur ekonomis usaha
            i             =  tingkat suku bunga bank

Kriteria pengambilan keputusan :
            Net B/C > 1      :   usaha layak
            Net B/C = 1      :   usaha impas
            Net B/C < 1      :   usaha tidak layak

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data time series penangkapan abalon selama 5 tahun oleh nelayan di Menui Kepulauan diolah, untuk mengetahui seberapa besar pengupayaan dan pemanfaatan sumber daya abalon, dari hasil tersebut akan diperoleh keputusan untuk penentuan kebijakan bagi pengelolaan sumberdaya abalon. 
Usaha Kegiatan Penangkapan Abalon
Pemanfaatan sumber daya abalon di Menui Kepulauan dilakukan langsung di alam bukan dengan usaha budi daya, sehingga penelitian ini mencoba menganalisis usaha kegiatan penangkapan tersebut.  Dalam kegiatan penangkapan tersebut terdapat beberapa komponen yang diperlukan, diantaranya modal usaha terdiri dari kapal, dan peralatan menangkap abalon seperti “ganco” terbuat dari besi putih berguna sebagai mengkait batu karang agar terangkat dengan mudah, “bundre” sebagai tempat penampungan, serta peralatan selam yang sederhana. 
Komponen biaya meliputi biaya tetap, biaya variabel (operasional), dan penyusutan alat.  Modal usaha sebesar Rp. 5.082.500.00 dengan penyusutan alat masing-masing sebesar 20% selama lima tahun pemakaian dan total biaya yang dikeluarkan oleh nelayan sebesar  Rp. 3.851.500.00, biaya operasional meliputi bahan bakar solar, konsumsi nelayan, dan garam dapur untuk mengawetkan abalon yang ditangkap.  Harga dari masing-masing biaya operasional berfluktuasi seiring dengan peningkatan kebutuhan bahan-bahan tersebut. Total penerimaan sebesar Rp. 9.660.000.00 per nelayan dalam kurun waktu setahun dengan rata-rata hasil tangkapan abalon 7 kg, dan nilai rasio R/C 2,5 berarti usaha penangkapan tersebut layak dikembangkan (Rasio R/C > 1). Nilai NPV usaha penangkapan abalon di Menui Kepulauan sebesar Rp. 25.97.239.00.  Nilai NPV tersebut berdasarkan analisis finansial kegiatan usaha penangkapan abalon untuk 5 tahun ke depan.  Nilai rasio B/C sebesar 1,37 berarti usaha layak dilaksanakan (net B/C > 1). 
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai dari rasio R/C sebesar 2,5, yang berarti bahwa usaha penangkapan abalon tersebut layak untuk dilaksanakan (R/C Ratio >1).  Usaha penangkapan ini telah menghasilkan pendapatan total sebesar Rp. 9.660.000.00, pendapatan tersebut diperoleh dalam setahun usaha kegiatan tersebut, meskipun berkelompok namun bukan berarti hasil tangkapan mereka bagi bersama tetapi setiap orang mempunyai penghasilan masing-masing, dimana masing-masing nelayan dalam setiap pencarian tersebut memperoleh hasil tangkapan rata-rata sebesar 7 kg.  Harga jual abalon kering untuk pasaran di Menui Kepulauan sebesar Rp. 115.000.00 per kg sedangkan harga jual di luar wilayah Menui Kepulauan dapat mencapai harga Rp. 12.000.00 hingga Rp. 350.000.00 per kg. Semakin tingginya nilai jual produk tersebut menyebabkan semakin meningkatnya jumlah nelayan pencari abalon di Menui Kepulauan.
Besarnya B/C ratio dipengaruhi oleh tingginya discount rate yang dipakai, makin tinggi discount rate, makin kecil B/C ratio, dan jika discount rate tinggi sekali maka B/C ratio dapat turun sampai menjadi lebih kecil dari satu (Kadariah, 1988). Besarnya nilai keuntungan dan biaya tersebut menunjukkan bahwa usaha kegiatan penangkapan abalon yang dilakukan oleh nelayan setempat dapat memberikan keuntungan yang berlebih bagi individu mereka sehingga pendapatan mereka pun secara langsung meningkat pula.  Nilai NPV diperoleh Rp. 25.497.239.00 dengan nilai rasio B/C sebesar 1,37 yang berarti bahwa setiap penambahan 1,37 kg hasil tangkapan akan meningkatkan keuntungan dan atau pendapatan nelayan sebesar 1,37 kali lipat.  Hal ini berarti bahwa dengan meningkatnya hasil tangkapan maka akan meningkatkan pula pendapatan nelayan tersebut. Pendapatan dari usaha penangkapan tersebut tidaklah mutlak akan bertahan atau akan sama pada tahun-tahun mendatang.  Hal ini disebabkan karena usaha yang mereka lakukan adalah kegiatan penangkapan yang langsung memanfaatkan stok sumber daya abalon di alam atau dengan kata lain sifatnya tidak menetap bukan dengan usaha budi daya. 
Perhitungan ratio B/C dilakukan pada tahun sekarang (Tahun 2006) sementara usaha penangkapan ini telah dilakukan sejak Tahun 1975.  Perhitungan tersebut dilakukan dengan perkiraan usaha pada tahun-tahun mendatang (± 5 tahun).  Berdasarkan perhitungan ratio B/C tersebut menunjukkan bahwa nilai gross benefit lebih besar daripada gross costs sehingga net benefit usahanya adalah positif, nilai tersebut biasanya akan berubah tergantung pada besarnya pendapatan, biaya-biaya yang dikeluarkan dan juga tingkat suku bunga. 

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan maka diperoleh kesimpulan bahwa hasil dari perhitungan rasio R/C sebesar 2,5, yang berarti bahwa usaha penangkapan abalon tersebut layak untuk dilaksanakan (R/C Ratio >1) dan Nilai NPV diperoleh Rp. 25 497 239.00 dengan nilai rasio B/C sebesar 1,37 yang berarti bahwa setiap penambahan 1,37 kg hasil tangkapan akan meningkatkan keuntungan dan atau pendapatan nelayan sebesar 1,37 kali lipat. Hal ini berarti bahwa dengan meningkatnya hasil tangkapan maka akan meningkatkan pula pendapatan nelayan tersebut. Pendapatan dari usaha penangkapan tersebut tidaklah mutlak akan bertahan atau akan sama pada tahun-tahun mendatang.  Hal ini disebabkan karena usaha yang mereka lakukan adalah kegiatan penangkapan yang langsung memanfaatkan stok sumber daya abalon di alam atau dengan kata lain sifatnya tidak menetap bukan dengan usaha budi daya. 

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous.  2005.  Integrated Fisheries Management Report Abalone Resource. Department of Fisheries 168 St Georges Terrace Perth.  Australia. 15-17 hal.

BAPPEDA, 2004.  Pemaparan Kepala BAPPEDA Kabupaten Morowali pada FORKKOM BAPPEDA se Sulawesi Tengah.  20 hal.

Bengen, D.G.  2004.  Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya.  Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.  Institut Pertanian Bogor.  72 hal.

Caunihan, R.T., Mc Namara, D.C., Souter, D.C., Jebreen, E.J., Preston, N.P., Johnson, C.R., Degnan, B.M.  2001.  Abstract : Pattern, Synchromy and Predictability of Spawning of the Tropical Abalones (Haliotis asinina) from Heron Reef.  Australia.  http ://www.int-res.com/abstract/meps/v213/pig 3-202.html.  Marine Ecology Progress Series 213:193-202 (2001).

Effendy, I.J.  2000.  Study of Early Development Stage on Donkey Ear Abalone Haliotis asinina.  Linneaus 1758.  Institut of Aquaculture College of Fisheries University of the Philippines in the Visayas.  Miag-ao, Iloilo.  Philippines. 101 hal.

Fauzi, A.  2004.  Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan.  Teori dan Aplikasi.  Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.

Kadariah.  1988.  Evaluasi Proyek Analisa Ekonomis.  Edisi Kedua.  Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.  Jakarta.  184 hal.

Pemerintah Kabupaten Morowali-LGMP FIKP UNHAS.  2001.  Laporan Akhir Penelitian Potensi Kelautan Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah.  Kerjasama Pemerintah Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah dengan Laboratorium Geomorfologi dan Manajemen Pantai (LGMP) Universitas Hasanuddin Makassar.  210 hal.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar