

Kelompok biota moluska merupakan salah satu potensi sumber daya perikanan yang apabila
dimanfaatkan secara rasional dapat memberikan kontribusi yang besar bagi
pendapatan masyarakat dan mendorong peningkatan pendapatan daerah. Adapun keunggulan komparatif yang dimiliki
oleh biota tersebut, di antaranya yaitu merupakan komoditi ekspor yang bernilai
ekonomi tinggi yang bersumber dari olahan daging dengan nilai gizi yang tinggi
dan kulit cangkangnya sebagai bahan perhiasan dan dekorasi (Pillay 1993). Kenyataan tersebut mendorong untuk
dilakukannya pemanfaatan yang terkendali dengan tetap mempertahankan
kelangsungan sumber daya tersebut dalam jangka panjang melalui suatu tindakan
antisipasi tekanan penangkapan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan nelayan skala kecil yakni dengan peningkatan produksi, baik dari
segi volume maupun nilai melalui penggunaan unit penangkapan yang produktif,
ekonomis dan efisien dengan menerapkan teknologi penangkapan yang ramah
lingkungan dan sesuai dengan kondisi setempat. Upaya peningkatan usaha
perikanan tersebut sangat memerlukan kajian yang komprehensif karena tidak
hanya melibatkan kegiatan penangkapan, tetapi juga melibatkan ketersediaan stok
sumber daya, distribusi pemasaran dan penerimaan dari produksi yang
dihasilkan. Adapun kelemahan manajemen
pengelolaan abalon saat ini yakni 1) bagaimana merubah usaha penangkapan abalon
menjadi usaha budidaya, dan 2) peningkatan hasil olahan abalon yang lebih
berkualitas.
Menui Kepulauan merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Morowali
Sulawesi Tengah yang beribukota di Ulunambo, dengan luas wilayah 223,63 km2
dan merupakan daerah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sektor perikanan memegang peranan yang sangat
penting dalam perekonomian masyarakat setempat yang pada umumnya
bermatapencaharian sebagai nelayan (BAPPEDA 2004). Salah satu potensi sumber daya perikanan laut yang bernilai
ekonomis yang terdapat di Menui Kepulauan adalah abalon (Haliotis asinina). Abalon
atau yang lebih dikenal dengan sebutan “mata tujuh” termasuk dalam salah satu
filum moluska. Abalon merupakan jenis
keong laut bersifat herbivora dengan banyak spesies dalam satu genus yaitu Haliotis. Biota laut tersebut telah dimanfaatkan oleh
masyarakat setempat sejak tahun 1975 dengan total produksi sejumlah ± 10
ton/tahun. Komoditas tersebut telah dipasarkan ke luar daerah Menui Kepulauan
dalam bentuk kering, diantara tujuan pemasarannya yakni di Kota Kendari dan
Makassar.
Sebagai komoditas eksport,
abalon memiliki harga konsumsi yang tinggi yakni berkisar antara Rp. 250.000.00
hingga Rp. 350.000.00 per kg (www.jatim.go.id), selain itu abalon juga dapat
dijadikan sebagai makanan sari laut dan dipasarkan dalam bentuk kemasan kaleng
dan dapat dikonsumsi baik mentah atau direbus serta cangkang abalon dapat
dimanfaatkan sebagai bahan perhiasan dan dekorasi (Pillay 1993). Adanya nilai ekonomis abalon tersebut dan
tuntutan kebutuhan bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan
berdampak pada terjadinya eksploitasi abalon yang berlebihan dan cenderung
tidak berkelanjutan. Sehubungan dengan
hal itu maka diperlukan alternatif untuk mengatasi tekanan terhadap sumber daya tersebut dan menjaga agar
kebutuhan masyarakat sebagai sumber matapencaharian tetap dapat terpenuhi. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi sebelum
terjadi degradasi adalah perlunya pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan
agar keberadaan abalon di masa mendatang tetap dapat dipertahankan.
Upaya pengembangan secara
berkelanjutan
memerlukan pengetahuan tidak saja pada pengetahuan tentang ekologi tapi juga
diperlukan informasi mengenai aspek ekonomi yang secara finansial mendukung usaha pengembangan sumber daya abalon yang
dapat memberikan kontribusi terhadap perubahan pendapatan nelayan abalon
yang lebih baik serta
jaminan pengembangan usaha budi daya.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-April 2006, di Menui
Kepulauan Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah.
Adapun cakupan Desa-desa di Menui Kepulauan yang menjadi objek
penelitian meliputi Desa Manahabungi (Pulau Lunas Balu), Desa Ulunambo, Desa
Ulunipa, dan Desa Padei Darat. Pemilihan
lokasi penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui potensi dan pengembangan
abalon di Menui Kepulauan. Pulau Lunas Balu merupakan daerah penangkapan abalon
yang umum dan terbanyak dikunjungi oleh nelayan setempat. Pengambilan data responden dilakukan di Desa
Ulunambo, Desa Ulunipa, dan Desa Padei Darat, dengan alasan bahwa berdasarkan
survei awal, ketiga desa tersebut merupakan daerah yang memiliki jumlah nelayan
terbanyak yang memanfaatkan sumber daya abalon.
Jenis dan Sumber Data
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan dengan mempertimbangkan kondisi
wilayah penelitian, maka penelitian yang dilakukan menggunakan metode
survei. Penentuan lokasi dan responden
nelayan abalon dilakukan secara purposive sampling.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua data,
yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dari pengukuran dan pengamatan langsung di lokasi
penelitian, meliputi data aspek ekonomi secara finansial
berupa kelayakan usaha penangkapan meliputi produktivitas, struktur biaya, dan
musim penangkapan. Data sekunder diperoleh melalui studi
pustaka, hasil penelitian terdahulu, dan data dari instansi yang terkait,
seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten
Morowali dan Kantor Kecamatan Menui Kepulauan.
Metode Pengumpulan Data
Pulau Lunas Balu secara purposive
sampling yaitu merupakan daerah penangkapan abalon terbanyak di Menui
Kepulauan dan dijadikan sebagai lokasi pengambilan sampel abalon dewasa karena pengamatan
yang dibutuhkan mengarah pada data time
series hasil tangkapan nelayan. Desa-desa pesisir seperti Desa Ulunambo, Desa Ulunipa, dan Desa Padei
Laut merupakan desa yang memiliki jumlah nelayan penangkapan abalon terbanyak
di Menui Kepulauan. Metode
penentuan responden juga dilakukan
secara purposive sampling didasarkan
pada tujuan sampling yakni nelayan abalon.
Analisa Data
Tingkat Kelayakan Usaha
Penangkapan Abalon
Jenis dan satuan data yang dikumpulkan sebagai berikut :
A.
Data Primer
1.
Komponen-komponen biaya tetap (fixed cost)
2.
Komponen-komponen biaya
operasional (variabel cost)
3.
Komponen-komponen biaya
pemeliharaan (maintenance cost)
B. Data Sekunder
1.
Jumlah produksi abalon dengan
satuan kg kering
2.
Harga produksi abalon dengan
satuan Rp/kg
3.
Jumlah alat tangkap atau jumlah
nelayan
Undiscounted Criterion
Kelayakan finansial dapat digambarkan dengan menghitung biaya dan
keuntungan dalam usaha penangkapan abalon.
Kajian ini menggunakan kriteria undiscounted
criterion, yaitu sebagai berikut :
Keuntungan dan Kelayakan Usaha p =
TR - TC

.............................................................. (10)
Keterangan :
p = Total
profit (keuntungan total)
TR = Total
revenue (penerimaan total)
TC = Total
cost (biaya total)
Dengan
kriteria :
R/C Ratio < 1 : usaha
tidak layak
R/C Ratio = 1 : Usaha
impas
R/C Ratio > 1 : Usaha
layak
Discounted Criterion
Analisis ini dilakukan dengan menggunakan metode kriteria investasi yang
disesuaikan dengan prosedur kelayakan proyek yaitu :
·
Net Present Value (NPV)
Net present value adalah nilai
saat ini dari keuntungan bersih yang akan diperoleh pada masa yang akan datang,
dengan menghitung selisih antara manfaat dan biaya kini. Secara sistematis dapat dituliskan :
...................................................... (11)
Dimana :
Bt = benefit kotor pada tahun t
Ct = biaya kotor pada tahun t
(1 + i)t = discount factor (DF)
i = tingkat suku bunga bank
n = umur ekonomi usaha
Kriteria
pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :
NPV > 0 : usaha layak
dilaksanakan
NPV = 0 : usaha kembali
modal
NPV < 0 : usaha tidak
layak dilaksanakan
·
Net benefit-Cost ratio (Net
B/C)
Merupakan perbandingan antara jumlah total nilai kini (present value) dari keuntungan bersih
pada tahun-tahun dimana keuntungan bersih bernilai positif dengan keuntungan
bersifat negatif. Secara sistematis net B/C dirumuskan sebagai berikut :


.............................. (12)
Dimana :
Bt = benefit kotor sehubungan dengan adanya
investasi pada tahun t
Ct = biaya kotor sehubungan dengan adanya investasi
pada tahun t
n = umur ekonomis usaha
i = tingkat suku bunga bank
Kriteria
pengambilan keputusan :
Net B/C > 1 : usaha
layak
Net B/C = 1 : usaha impas
Net B/C < 1 : usaha
tidak layak
HASIL DAN PEMBAHASAN
Usaha Kegiatan
Penangkapan Abalon
Pemanfaatan sumber daya abalon di Menui Kepulauan dilakukan langsung
di alam bukan dengan usaha budi daya,
sehingga penelitian ini mencoba menganalisis usaha kegiatan penangkapan
tersebut. Dalam kegiatan penangkapan
tersebut terdapat beberapa komponen yang diperlukan, diantaranya modal usaha
terdiri dari kapal, dan peralatan menangkap abalon seperti “ganco” terbuat dari
besi putih berguna sebagai mengkait batu karang agar terangkat dengan mudah,
“bundre” sebagai tempat penampungan, serta peralatan selam yang sederhana.
Komponen biaya meliputi biaya
tetap, biaya variabel (operasional), dan penyusutan alat. Modal usaha sebesar Rp. 5.082.500.00
dengan penyusutan alat masing-masing
sebesar 20% selama lima tahun pemakaian dan total biaya yang dikeluarkan oleh
nelayan sebesar Rp. 3.851.500.00,
biaya operasional meliputi bahan bakar solar, konsumsi nelayan, dan garam dapur
untuk mengawetkan abalon yang ditangkap.
Harga dari masing-masing biaya operasional berfluktuasi seiring dengan
peningkatan kebutuhan bahan-bahan tersebut. Total penerimaan sebesar Rp. 9.660.000.00
per nelayan dalam kurun waktu setahun dengan rata-rata hasil tangkapan abalon 7
kg, dan nilai rasio R/C 2,5 berarti usaha penangkapan tersebut layak
dikembangkan (Rasio R/C > 1). Nilai NPV usaha penangkapan
abalon di Menui Kepulauan sebesar Rp. 25.97.239.00. Nilai NPV tersebut
berdasarkan analisis finansial kegiatan usaha penangkapan abalon untuk 5 tahun
ke depan. Nilai rasio B/C sebesar 1,37
berarti usaha layak dilaksanakan (net B/C > 1).
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai dari rasio R/C sebesar 2,5,
yang berarti bahwa usaha penangkapan abalon tersebut layak untuk dilaksanakan
(R/C Ratio >1). Usaha penangkapan ini
telah menghasilkan pendapatan total sebesar Rp. 9.660.000.00, pendapatan tersebut diperoleh dalam setahun usaha
kegiatan tersebut, meskipun
berkelompok namun bukan berarti hasil tangkapan mereka bagi bersama tetapi
setiap orang mempunyai penghasilan masing-masing, dimana masing-masing nelayan
dalam setiap pencarian tersebut memperoleh hasil tangkapan rata-rata sebesar 7
kg. Harga jual abalon kering untuk
pasaran di Menui Kepulauan sebesar Rp. 115.000.00 per kg sedangkan harga jual di luar wilayah Menui
Kepulauan dapat mencapai harga Rp. 12.000.00 hingga Rp.
350.000.00 per kg.
Semakin tingginya nilai jual produk tersebut menyebabkan semakin meningkatnya
jumlah nelayan pencari abalon di Menui Kepulauan.
Besarnya B/C ratio dipengaruhi oleh tingginya discount rate yang dipakai, makin tinggi discount rate, makin kecil B/C ratio, dan jika discount rate tinggi sekali maka B/C ratio dapat turun sampai
menjadi lebih kecil dari satu (Kadariah, 1988). Besarnya nilai keuntungan dan
biaya tersebut menunjukkan bahwa usaha kegiatan penangkapan abalon yang
dilakukan oleh nelayan setempat dapat memberikan keuntungan yang berlebih bagi
individu mereka sehingga pendapatan mereka pun secara langsung meningkat
pula. Nilai NPV diperoleh Rp. 25.497.239.00
dengan nilai rasio B/C sebesar 1,37 yang berarti bahwa setiap penambahan 1,37
kg hasil tangkapan akan meningkatkan keuntungan dan atau pendapatan nelayan
sebesar 1,37 kali lipat. Hal ini berarti
bahwa dengan meningkatnya hasil tangkapan maka akan meningkatkan pula
pendapatan nelayan tersebut. Pendapatan dari usaha penangkapan tersebut
tidaklah mutlak akan bertahan atau akan sama pada tahun-tahun mendatang. Hal ini disebabkan karena usaha yang mereka
lakukan adalah kegiatan penangkapan yang langsung memanfaatkan stok sumber daya
abalon di alam atau dengan kata lain sifatnya tidak menetap bukan dengan usaha
budi daya.
Perhitungan ratio B/C dilakukan pada tahun sekarang (Tahun 2006)
sementara usaha penangkapan ini telah dilakukan sejak Tahun 1975. Perhitungan tersebut dilakukan dengan
perkiraan usaha pada tahun-tahun mendatang (± 5 tahun). Berdasarkan perhitungan ratio B/C tersebut
menunjukkan bahwa nilai gross benefit
lebih besar daripada gross costs
sehingga net benefit usahanya adalah
positif, nilai tersebut biasanya akan berubah tergantung pada besarnya
pendapatan, biaya-biaya yang dikeluarkan dan juga tingkat suku bunga.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan maka diperoleh kesimpulan bahwa hasil dari perhitungan rasio R/C sebesar 2,5,
yang berarti bahwa usaha penangkapan abalon tersebut layak untuk dilaksanakan
(R/C Ratio >1) dan Nilai
NPV diperoleh Rp. 25 497 239.00 dengan nilai rasio B/C sebesar 1,37 yang
berarti bahwa setiap penambahan 1,37 kg hasil tangkapan akan meningkatkan
keuntungan dan atau pendapatan nelayan sebesar 1,37 kali lipat. Hal ini
berarti bahwa dengan meningkatnya hasil tangkapan maka akan meningkatkan pula
pendapatan nelayan tersebut. Pendapatan dari usaha penangkapan tersebut
tidaklah mutlak akan bertahan atau akan sama pada tahun-tahun mendatang. Hal ini disebabkan karena usaha yang mereka
lakukan adalah kegiatan penangkapan yang langsung memanfaatkan stok sumber daya
abalon di alam atau dengan kata lain sifatnya tidak menetap bukan dengan usaha
budi daya.

Anonimous. 2005. Integrated Fisheries Management Report
Abalone Resource. Department of Fisheries 168 St Georges Terrace
Perth. Australia. 15-17 hal.
BAPPEDA, 2004. Pemaparan Kepala
BAPPEDA Kabupaten Morowali pada FORKKOM BAPPEDA se Sulawesi Tengah. 20 hal.
Bengen, D.G. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan
Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Institut Pertanian Bogor. 72 hal.
Caunihan, R.T., Mc Namara, D.C., Souter, D.C., Jebreen, E.J., Preston,
N.P., Johnson, C.R., Degnan, B.M.
2001. Abstract : Pattern, Synchromy and Predictability of Spawning of the
Tropical Abalones (Haliotis asinina) from Heron Reef. Australia.
http ://www.int-res.com/abstract/meps/v213/pig 3-202.html. Marine
Ecology Progress Series 213:193-202 (2001).
Effendy, I.J. 2000. Study
of Early Development Stage on Donkey Ear Abalone Haliotis asinina. Linneaus
1758. Institut of Aquaculture College of Fisheries University of the Philippines
in the Visayas. Miag-ao, Iloilo. Philippines. 101 hal.
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek Analisa Ekonomis. Edisi Kedua.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
184 hal.
Pemerintah Kabupaten Morowali-LGMP FIKP UNHAS. 2001.
Laporan Akhir Penelitian Potensi Kelautan Kabupaten Morowali Propinsi
Sulawesi Tengah. Kerjasama Pemerintah
Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah dengan Laboratorium Geomorfologi
dan Manajemen Pantai (LGMP) Universitas Hasanuddin Makassar. 210 hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar